MAKALAH GENETIKA IKAN

REKAYASA HIBRIDISASI IKAN NILA

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Konsumsi ikan penduduk Indonesia pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai 4,8 juta ton atau setara dengan 78% dari potensi sumber daya ikan (SDI) yang besarnya 6,12 juta ton, apabila seluruhnya dipasok dari hasil penangkapan (Nugroho et al., 2001). Apabila kondisi ini benar–benar terjadi berarti kelestarian SDI mengalami ancaman yang sangat serius. Keterancaman tersebut menuntut adanya pengendalian di bidang penangkapan ikan. Adanya kecenderungan stagnasi hasil tangkapan ikan di perairan umum baik perairan tawar, payau, maupun laut dalam kurun waktu terakhir mengindikasikan jumlah tangkapan ikan mulai terbatas. Selanjutnya pada masa mendatang persentase produksi ikan dari sub sektor perikanan tangkap akan semakin menurun dan peranannya dalam memasok kebutuhan konsumsi ikan akan digantikan oleh sub sektor lainnya. Salah satu sub sektor perikanan yang berpeluang menjadi alternatif sekaligus harapan menggantikan posisi tersebut adalah sub sektor perikanan budi daya.
Perkembangan dalam pembudidayaan nila merupakan sisi positif yang sangat diharapkan terutama berkenaan dengan program Inbudkan. Namun tentu saja perkembangan tersebut perlu disikapi secara arif dan antisipatif. Hal ini tidak lain karena secara genetik, ikan nila yang berkembang di Indonesia relatif cepat mengalami penurunan. Yang mudah diamati adalah penampakan secara kuantitatif dari karakter pertumbuhan, ketahanan terhadap penyakit, tingkat kelangsungan hidup, benuk tubuh dan abnormalitas atau secara kualitatif dari karakter warna tubuh. Contohnya antara lain : a) Ikan nila merah (Oreochromis sp.) didatangkan ke Indonesia tahun 1981. Dalam waktu kurang dari 10 tahun (tepatnya awal 1990 an) tampilan warnanya sudah mengalami penurunan bahkan sudah banyak yang muncul bercak hitam pada tubuhnya; b) Nila GIFT (Oreochromis niloticus) didatangkan tahun 1994. Data tahun 2001 berdasarkan laporan petani Karamba Jaring Apung (KJA) Cirata menunjukkan bahwa dalam kegiatan pembesaran benih ukuran 10 gram/ekor menjadi ukuran konsumsi 300 gram/ekor memerlukan waktu 120 hari, padahal sebelumnya hanya perlu waktu 90 hari. Dari segi FCR, nilai yang semula 1,5 saat ini mencapai 1,8. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Pepen Efendi, pembenih di kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa pada tahun 1996‐1997 dengan penebaran larva nila GIFT sebanyak 1 liter (± 40.000 ekor) selama 60 hari memperoleh hasil sebanyak 80‐100 kg fingerling. Sedangkan saat ini dengan pola pemeliharaan yang sama, hasil yang diperoleh hanya 25‐30kg. Namun demikian, data hasil pendederan larva hasil pemijahan induk dari
BBAT Sukabumi yang didederkan di lahan petani Ciandam, Sukaraja menunjukkan bahwa dari satu liter larva mampu menghasilkan benih sangkal (umur 60 hari) sebanyak 120 kg dan 160 kg. Penurunan kualitas genetik yang terjadi di beberapa petani dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya (1) kualitas induk awal, (2) silang dalam, (3) seleksi induk yang salah, (4) jumlah induk yang terbatas dan atau (5) induk yang digunakan merupakan ikan hibrid.
Secara genetik, nila memiliki nilai heritabilitas (h2) yang rendah. Dengan keadaan ini, beberapa penelitian menunjukkan bahwa seleksi tidak terlalu efektif untuk meningkatkan kualitas turunannya. Cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi adalah dengan hibridisasi. Oleh karena itu pada tahun anggaran 2003 kegiatan ini dilakukan. Beberapa strain yang digunakan dalam hibridisasi antara lain nila hitam Chitralada dan Aurea, nila merah albino dan nila putih.

1.2. Tujuan dan Target
Tujuan kegiatan perekayasaan ini adalah melakukan hibridisasi ikan nila
hitam Chitralada (C) dan Aurea (A) secara resiprokal, nila merah albino (M) dan nila putih (P) secara resiprokal, mendapatkan kombinasi hibrid yang unggul dalampertumbuhan dan kombinasi hibrid yang menghasilkan nila dominan jantan. Target perolehan ikan nila hibrida hasil uji sebanyak 10.000 ekor ukuran 100 gram/ekor.

2. Pembahasan
Secara genetik, nila memiliki nilai heritabilitas (h2) yang rendah. Dengan keadaan ini, beberapa penelitian menunjukkan bahwa seleksi tidak terlalu efektif untuk meningkatkan kualitas turunannya. Cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi adalah dengan hibridisasi. Oleh karena itu pada tahun anggaran 2003 kegiatan ini dilakukan. Beberapa strain yang digunakan dalam hibridisasi antara lain nila hitam Chitralada dan Aurea, nila merah albino dan nila putih.
Data perbandingan pertumbuhan persilangan nila putih (P) betina dengan nila merah albino (M) jantan atau SPM dan persilangan nila merah albino (M) betina dengan nila putih (P) jantan atau SMP dengan ukuran tebar awal tiap jaring adalah 3 gram dengan padat tebar 24,5 ekor/m3 dengan lama pengamatan tujuh bulan, tidak berbeda nyata. Pola warna pada SPM memiliki komposisi warna putih sebanyak 62,31%. Komposisi ini lebih besar dari nila SMP dan diduga memungkinkan untuk dilaksanakan persilangan lebih lanjut dengan nila hitam. Namun demikian, secara ilmiah perlu dibuktikan untuk mendapatkan pola persilangan yang memungkinkan dalam kegiatan produksi nila merah hibrida secara massal.
Secara genotipe, pola gonosom ikan nila hitam Chitralada (C) adalah XX untuk betina dan XY untuk jantan. Hal ini sama dengan pola pada nila hitam dan nila merah. Sedangkan Aureus (A) memiliki pola WZ untuk betina dan ZZ untuk jantan. Hasil analisa gonad menunjukkan bahwa, persentase nila berjenis kelamin jantan hasil persilangan betina Aureus dengan jantan Chitralada (SCA) adalah 85%, sedangkan hasil persilangan betina Aureus dengan jantan Chitralada (SAC) sebesar 60 %. Dengan demikian, persilangan Chitralada betina dengan Aureus jantan dapat digunakan untuk memproduksi benih nila kelamin jantan secara massal. Berdasarkan data analisa anak inti (nucleolus) dan kromosom, jumlah maksimal anak inti untuk ikan nila sebanyak 4 buah. Sedangkan jumlah kromosom nila berjumlah 44 buah.
Hibridisasi merupakan perkawinan antar jenis (dalam satu famili), atau antar strain yang bertujuan untuk mendapatkan benih hibrida yang lebih cepat pertumbuhannya daripada kedua induknya (hibrid vigor). Heterosis tidak selalu terjadi bila dilakukan hibridisasi dan efeknya hanya dapat diketahui melalui serangkaian percobaan. Saat ini BBAT Sukabumi memiliki spesies nila yang memungkinkan untuk dilakukan hibridisasi, yakni nila merah albino dengan nila putih, nila hitam Chitralada (Oreochromis niloticus) dengan Aureus (Oreochromis aureus). Hibridisasi antara nila merah albino dengan nila putih bertujuan untuk mendapatkan informasi pola pertumbuhan dan pola warna pada hibridanya. Disamping itu juga memiliki fungsi meningkatkan keragaman genetik, memungkinkan untuk menghasilkan nila merah jika di silangkan kembali dengan nila hitam serta memungkinkan untuk meningkatkan pola pertumbuhan melalui efek heterosis.

2.1. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan terdiri dari induk ikan nila hitam Chitralada dan Aurea, induk nila merah albino, induk nila putih, pakan induk, pakan benih, pakan
pembesaran, pupuk kandang, kapur tohor, bahan analisa nucleolus (etanol, asam asetat glacial, gelatin, gliserin, asam formiat dan perak nitrat), bahan analisa kromosom (KCl, FBS, HEPES dll.) serta obat‐obatan. Sedangkan alat dan wadah yang digunakan antara lain peralatan lapang perikanan (lambit, waring, ayakan dll.), kolam, bak beton, akuarium, mikroskop, kotak pewarnaan dan alat ukur timbang.

2.2. Prosedur Kerja
2.2.1. Pengelolaan Induk
Induk yang digunakan dalam kegiatan terlebih dahulu diseleksi berdasarkan jenis kelamin jantan dan betina. Induk jantan dan betina hasil seleksi ditempatkan dalam bak beton secara terpisah. Induk hasil seleksi dipelihara selama 10 hari untuk pematangan gonad. Pakan yang diberikan selama pematangan gonad berupa pellet dengan kandungan protein 26‐28 % dengan dosis 3%/bobot biomas/hari.

2.2.2. Hibridisasi
Proses hibrid dilakukan dalam bak pemijahan. Ikan nila yang dihibrid adalah strain Chitralada dengan Aureus dan nila merah albino dengan nila putih. Pakan yang diberikan terhadap induk yang dipijahkan adalah pellet dengan kandungan protein 28% dengan dosis 3%/bobot biomas/hari. Pemanenan larva hasil pemijahan dilakukan setiap 10‐15 hari sekali. Larva yang diperoleh diseleksi (grading) untuk mendapatkan ukuran yang relatif seragam.

2.2.3. Pendederan I
Pendederan I dilakukan dalam hapa ukuran 2x2x1 m dengan padat tebar 500 ekor/m2. Lama pemeliharaan dalam pendederan I adalah 30 hari. Dosis pemberian
pakan dalam pendederan I dengan dosis 20%/ bobot biomas/hari.

2.2.4. Pendederan II dan III
Wadah yang digunakan adalah hapa hitam berukuran 2x2x1 m. Menebarkan benih dengan kepadatan 125 ekor/m3. Pemeliharaan benih di P II dan P III masingmasing selama 60 hari. Dosis pemberian pakan adalah 10%/bobot biomas/hari untuk 30 hari pertama dan 5%/bobot biomas/hari untuk 30 hari kedua dengan frekuensi tiga kali/hari.

2.2.5. Pembesaran
Wadah yang digunakan adalah keramba jaring apung yang terletak di waduk Cirata, Cianjur. Padat tebar untuk kegiatan pembesaran dengan kepadatan 50 ekor/m3. Pemberian pakan selama pembesaran menggunakan dosis 3‐4 %/bobot biomas/hari. Frekuensi pemberian pakan adalah tiga kali/hari. Mendata parameter kelangsungan hidup (%), FCR dan laju pertumbuhan.


Hibridisasi merupakan perkawinan antar jenis (dalam satu famili), atau antar strain yang bertujuan untuk mendapatkan benih hibrida yang lebih cepat pertumbuhannya daripada kedua induknya (hibrid vigor). Heterosis tidak selaluterjadi bila dilakukan hibridisasi dan efeknya hanya dapat diketahui melalui
serangkaian percobaan. Saat ini BBAT Sukabumi memiliki spesies nila yang memungkinkan untuk dilakukan hibridisasi, yakni nila merah albino dengan nila putih, nila hitam Chitralada (Oreochromis niloticus) dengan Aureus (Oreochromis aureus). Hibridisasi antara nila merah albino dengan nila putih bertujuan untuk mendapatkan informasi polapertumbuhan dan pola warna pada hibridanya. Disamping itu juga memiliki fungsi meningkatkan keragaman genetik, memungkinkan untuk menghasilkan nila merah jika di silangkan kembali dengan nila hitam serta memungkinkan untuk meningkatkan pola pertumbuhan melalui efek heterosis. Data perbandingan pertumbuhan dalam kegiatan pembesaran persilangan nila putih (betina) dengan nila merah albino (jantan) atau SPM dan persilangan nila merah albino (betina) dengan nila putih (jantan) atau SMP. Ukuran tebar awal tiap jaring adalah 3 gram dengan padat tebar 24,5 ekor/m3 dengan lama pengamatan tujuh bulan. Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa secara deskriptif pola pertumbuhan ikan nila hibrida SPM dan SMP tidak berbeda
nyata. Sebaran komposisi warna antara SPM, SMP dan nila merah. Pola warna pada SPM memiliki komposisi warna putih sebanyak 62,31%. Komposisi ini lebih besar dari nila SMP dan diduga memungkinkan untuk dilaksanakan persilangan lebih lanjut dengan nila hitam. Namun demikian, secara ilmiah perlu dibuktikan untuk mendapatkan pola persilangan yang memungkinkan dalam kegiatan produksi nila merah hibrida secara massal. Secara genotipe, pola gonosom ikan nila hitam Chitralada adalah XX (betina) dan XY (jantan). Hal ini sama dengan pola pada nila hitam dan nila merah. Sedangkan nila Aureus memiliki pola WZ (betina) dan ZZ (jantan). Penerapan teknik hibrida ini secara diagram tertera pada Gambar 2. Persilangan antara O.niloticus dan O. aureus bertujuan untuk menghasilkan turunan dominan jantan tanpa penggunaan hormon. Popma and Lovshin (1994) menyatakan bahwa persilangan ikan terseut dapat menghasilkan nisbah kelamin jantan sebanyak 85‐99%. DataHasil analisa gonad menunjukkan bahwa, persentase nila jantan hibrida SCA adalah 85%, sedangkan hibrida SAC sebesar 60 %. Rasio jenis kelamin jantan danbetina ini dihitung berdasarkan hasil analisa gonad dengan metoda pewarnaanasetokarmin. Melalui pengamatan mikroskopis, terlihat bahwa bakal sel sperma tampak kecil berupa bintik merah yang meyebar dan gonad tampak berumbai-rumbai. Sedangkan pada gonad betina, bakal sel telur berbentuk bulat dengan inti di tengah. Ukuran yang bervariasi menunjukkan tingkat kematangan yang berbeda‐beda. Berdasarkan data analisa nucleolus dan kromosom, jumlah maksimal nucleoli untuk ikan nila sebanyak 4 buah. Sedangkan jumlah kromosom nila berjumlah 44 buah.

4. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil kegiatan ini, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan nila SPM dan SMP tidak berbeda nyata. Pola warna putih pada nila SPM (62,31%) lebih banyak dibandingkan dengan SMP (40,40). Benih hibrida SCA menghasilkan nisbah kelamin jantan sebesar 85%. Dengan demikian persilangan Chitralada betina dengan Aureus jantan dapat digunakan untuk memproduksi benih nila kelamin jantan secara massal. Melalui data persilangan SPM dan SMP, perlu dilakukan uji lanjutan untuk mendapatkan data pola warna nila hibrida jika disilangkan dengan nila hitam. Berdasarkan data analisa nucleolus dan kromosom, jumlah maksimal nucleoli untuk ikan nila sebanyak 4 buah. Sedangkan jumlah kromosom nila berjumlah 44 buah.

0 komentar:

Posting Komentar